top of page

BALAI TEKNIK

PERMUKIMAN DAN PERKOTAAN

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT

Pelestarian Kota Pusaka Upaya Menjaga Identitas Kota


Denpasar – Era globalisasi saat ini telah menyebabkan terjadinya pergeseran nilai budaya serta berdampak terhadap penyeragaman wajah arsitektur kota yang cenderung sama. Pergeseran budaya tersebut menyebabkan terjadinya gejala arus balik kebudayaan yang kembali mencari identitas suatu kota. Kekayaan aset budaya yang dimiliki kota-kota di Indonesia sejatinya menjadi aset yang sangat potensial sebagai inspirator maupun obyek eksplorasi pengembangan ekonomi kreatif yang dapat bersaing di era global. Salah satu upaya pengembangan ekonomi kreatif adalah dengan melakukan pelestarian kota pusaka. Demikian disampaikan oleh Taufan Madiasworo, Kepala Balai Informasi Permukiman dan Perkotaan, Direktorat Jenderal Cipta Karya mewakili Sekretaris Direktorat Jenderal Cipta Karya pada pembukaan Forum Diskusi Pakar Bidang Permukiman dan Perkotaan yang bertema Pelestarian Kota Pusaka dengan studi kasus Kawasan Kota Lama Semarang pada Selasa , (27/10), di Semarang, Jawa Tengah.

Alasan utama mengapa kota pusaka perlu dilestarikan karena kota pusaka memiliki nilai-nilai penting, antara lain: nilai jati diri/identitas bangsa, kesejarahan, lingkungan, sosial, politik, ideologi, ekonomi, dan budaya yang jika dikelola secara optimal dalam rangka pembangunan berkelanjutan akan dapat memberikan manfaat bagi peningkatan kualitas lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. “Upaya pelestarian kota pusaka tidaklah ditujukan bagi kepentingan estetis ataupun romantisme masa lalu semata, namun harus memiliki nilai fungsional, ekonomi, dan nilai produktif lainnya” ungkap Taufan.

Berbagai regulasi sebagai upaya melestarikan kota pusaka telah diterbitkan oleh Pemerintah untuk menjamin perlindungan dan pengembangan kota pusaka agar berkelanjutan. Direktorat Jenderal Cipta Karya mendukung penuh pelestarian kota pusaka melalui Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP) dengan melakukan pembinaan dan pendampingan terhadap kota-kota yang memiliki komitmen kuat dalam pelestarian kota pusaka. Hal ini ditandai dengan adanya dua kota binaan yaitu Semarang dan Sawahlunto yang masuk dalam tentative list world heritage city.

Dalam forum ini disampaikan paparan upaya pelestarian kawasan kota lama Semarang oleh Farchan, Kepala Bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah, Bappeda Kota Semarang yang dilanjutkan paparan Program Penataan dan pelestarian Kota Pusaka (P3KP) oleh Indah, Kepala Seksi Analisa teknis, Subdit Perencanaan Teknis, Direktorat Bina Penataan Bangunan.

Beberapa hal yang mengemuka dalam diskusi di Forum ini adalah bahwa untuk mewujudkan kota pusaka perlu sinergi yang baik antar sektor dan antar pelaku. Suhadi Hadiwinoto, wakil dari Badan Pelestarian Pusaka Indonesia menyampaikan bahwa selain sinergi antara aspek lingkungan, fisik, ekonomi, dan sosial budaya juga diperlukan sinergi antara berbagai pemangku kepentingan baik Pemerintah, swasta dan komunitas dalam upaya pelestarian kota pusaka, penanganan kota pusaka tidak bisa dilakukan secara sendiri-sendiri. Senada dengan Suhadi, Dewi Yulianti, Guru Besar dan sejarawan dari Universitas Diponegoro menambahkan bahwa kota pusaka seperti kota lama Semarang perlu dilestarikan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. “ Perlu pembagian peran yang baik antar pelaku dan selain bekerjasama dengan sektor swasta, perlu disediakan ruang gerak bagi komunitas kreatif serta diperlukan manajemen pariwisata”, ungkap Dewi.

Pelestarian harus tetap memperhatikan nilai-nilai kultural yang ada. Pelestarian kota pusaka tidak hanya melakukan revitalisasi maupun rehabilitasi objek-objek pusaka. Namun yang tidak kalah penting juga adalah membangun cerita dan sejarah yang ada pada objek tersebut. Gunawan Tjahjono, Guru Besar Arsitektur Universitas Indonesia menyatakan bahwa cerita tentang objek pusaka harus digali dan dikisahkan kembali agar objek pusaka tersebut memiliki nilai sehingga dapat menarik minat masyarakat.

Penanganan permasalahan dalam pelestraian juga perlu ditangani. Banyak objek-objek pusaka yang menjadi hak milik perseorangan. Disamping itu bahaya banjir, dan vandalisme juga tidak kalah penting untuk diperhatikan. Totok Roesmanto, Guru Besar Arsitektur Universitas Diponegoro menyatakan bahwa pendanaan, ancaman bencana dan pemahaman pentingnya objek pusaka bagi masyarakat adalah hal yang juga diperhatikan dalam pelestarian kota pusaka. “Untuk menjadi kota pusaka dunia harus ada suatu objek pusaka yang menjadi prioritas penanganannya dan dilindungi dari ancaman bencana”, ungkap Totok. Sementara itu Chris Dharmawan seorang praktisi pelestarian pusaka yang hadir dalam forum ini menyampaikan bahwa pemerintah daerah perlu menyiapkan infrastruktur berstandar internasional di kawasan objek pusaka sehingga ancaman banjir, kekumuhan dan kesemrawutan bisa dihilangkan. Konservasi dan revitalisasi bisa ditangani bersama dengan pihak swasta atau investor. “Pemerintah kota mengambil peran untuk mengendalikan dan mengatur izinnya”, tambah Chris.

Eko Punto, arkeolog dari universitas Diponegoro mengungkapkan kawasan kota lama memiliki nilai historis yang sangat penting bagi perkembangan morfologi kota Semarang. Lebih lanjut Arya Abieta, praktisi pelestarian menyampaikan tentang contoh-contoh penanganan bangunan cagar budaya di beberapa kota di Indonesia.

Forum Diskusi Pakar ini dihadiri oleh unsur pemerintah dari Bappeda Kota Semarang, Direktorat Bina Penataan Bangunan, Balai Informasi Permukiman dan Perkotaan, Satker Pengembangan Kawasan Permukiman dan Penataan Bangunan Provinsi Jawa Tengah, praktisi dan pemerhati pelestarian, akademisi, dan Badan Pelestarian Pusaka Indonesia.


Berita Utama
Berita Terbaru
Kumpulan Berita
Search By Tags

© 2016 by BTPP

    bottom of page