Penanganan Permukiman Kumuh Perlu Model Penanganan yang Acceptable dan Sustainable

Jakarta - Permukiman kumuh masih merupakan sebuah tantangan di perkotaan yang belum terselesaikan hingga hari ini padahal penyelesaian permukiman kumuh tersebut sangatlah diperlukan untuk mewujudkan perkotaan yang layak huni. Walaupun telah ada beberapa upaya penanganan permukiman kumuh yang telah dilakukan, antara lain berupa upaya slum upgrading, resettlement (pemukiman kembali) dan urban renewal (peremajaan), namun ada kecenderungan permukiman kumuh yang telah ditangani tersebut kini kembali menjadi kumuh. Demikian disampaikan Dirjen Cipta Karya, Andreas Suhono, saat membuka FGD Penanganan Permukiman Kumuh untuk Mewujudkan lingkungan yang Layak Huni dan Berkelanjutan di Jakarta (21/12/15).
Andreas menambahkan bahwa untuk mencegah kecenderungan tersebut dan dalam rangka mendukung Gerakan 100.0.100 untuk mencapai target 0% permukiman kumuh di tahun 2019, perlu disusun sebuah model penanganan permukiman kumuh berdasarkan pengalaman model penanganan kawasan kumuh yang telah dilakukan. "Model-model penanganan yang harus kita susun adalah model yang acceptable dan suistainable. Mungkin rumah susun juga dapat dijadikan salah satu solusi permasalahan permukiman kumuh," demikian penjelasan Andreas.
Rina Agustin Indriani, Sesditjen Cipta Karya, menyampaikan bahwa FGD Penanganan Permukiman Kumuh ini dilaksanakan mengingat semakin tingginya kompleksitas permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam pengembangan permukiman dan perkotaan yang layak huni dan berkelanjutan. Untuk itu, dibutuhkan upaya yang komprehensif, cerdas, dan inovatif, yang melibatkan pemangku kepentingan di bidang permukiman dan perkotaan. Peran aktif dan kerja sama dari seluruh pemangku kepentingan tersebut perlu dikembangkan sebagai salah satu bentuk kontribusi nyata dalam mewujudkan permukiman dan perkotaan yang berkualitas.
Ari Muwardi, Kepala Balitbang Kementerian PUPR pada acara FGD tersebut menyampaikan paparan tentang Konsep Pengembangan Kampung Bahari Tambak Lorok di Kota Semarang, yang merupakan salah satu dari 10 kota prioritas penataan kampung nelayan. Nieke Nindyaputri, Kasubdit Kawasan Permukiman Perkotaan, menyampaikan 10 kota yang menjadi prioritas penataan kampung nelayan tersebut adalah Kota Medan, Kota Bengkulu, Kota Semarang, Kota Demak, Kota Tegal, Kota Pontianak, Kota Banjarmasin, Kota Mamuju, Kota Kupang dan Kota Jayapura. Nieke menambahkan bahwa saat ini ada 30 lokasi permukiman kumuh di Kabupaten/Kota yang menjadi lokasi prioritas penanganan di Ditjen Cipta Karya.
Penanganan permukiman kumuh haruslah menerus, bertahap, dan berbasis wilayah administrasi serta memiliki perencanaan yang komprehensif sehingga perbaikan permukiman yang dijadikan sasaran penanganan tidak sekadar menyangkut fisik, namun juga terkait aspek sosial, ekonomi serta kepastian bermukim. Hal ini disampaikan oleh Parwoto, praktisi permukiman saat menyampaikan paparannya yang berjudul Penanganan Permukiman Kumuh yang Berdasarkan Kerakyatan.
Terkait kepastian akan bermukim tersebut, Bakti Setiawan, akademisi UGM menambahkan bahwa dalam penanganan permukiman kumuh, isu kepemilikan tanah merupakan hal penting karena rasa aman penghuni merupakan faktor penting dalam keberhasilan upaya penataan permukiman.
Lina Marlia, widyaiswara Kementerian PUPR menyebutkan bahwa permukiman kumuh dihuni oleh masyarakat yang bekerja di faktor informal, memiliki tingkat pendidikan dan ekonomi masyarakat yang rendah, serta mempunyai kualitas lingkungan yang buruk. Permukiman kumuh dapat berdampak pada kawasan lain di perkotaan sehingga permasalahan permukiman kumuh tidak dapat dilepaskan dari perkembangan kota. Menanggapi hal tersebut, Sari Hayati Hasibuan, akademisi Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia menyatakan bahwa memang pendekatan penanganan permukiman kumuh sebaiknya dilakukan secara sistemik dan keseluruhan. Perlu dibuat pemetaan yang berdasarkan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.
Andreas menyatakan bahwa dalam penanganan permukiman kumuh, pemerintah harus bertindak sebagai pemimpin sehingga peran pemerintah daerah haruslah dipacu. Selain itu, agar penanganan permukiman kumuh dapat berjalan signifikan, telah disiapkan rencana pembentukan tim yang terdiri dari berbagai unsur, antara lain unsur pemerintah, praktisi, dan ademisi, yang akan menyeleksi permukiman kumuh yang akan ditangani terlebih dahulu di 30 Kabupaten/Kota yang menjadi prioritas.
Andreas juga menambahkan bahwa Ditjen Cipta Karya juga akan menyiapkan Balai Teknik Permukiman dan Perkotaan untuk mendukung rencana penanganan kumuh tersebut serta akan mendokumentasikan pengalaman program penanganan kumuh yang telah dan sedang dilakukan di Indonesia. Balai Teknik Permukiman dan Perkotaan dapat berperan sebagai knowledge management bidang permukiman dan perkotaan yang dilengkapi dengan beragam fasilitas seperti galeri permukiman dan perkotaan, ruang audiovisual, dan perpustakaan yang berlokasi di Werdhapura, Bali.

Taufan Madiasworo, Kepala Balai Informasi Permukiman dan Perkotaan, menyatakan bahwa BIPP siap mendukung pelaksanaan penanganan permukiman kumuh. Hal ini sejalan dengan tugas BIPP yaitu sebagai Unit Pelaksana Teknis di lingkungan Ditjen Cipta Karya yang memiliki tugas mendukung pelaksanaan tugas Ditjen Cipta Karya, khususnya dalam mendukung pelaksanaan tugas Direktorat Pengembangan Kawasan Permukiman dan Direktorat Bina Penataan Bangunan dalam memberikan bimbingan teknis kepada para pemangku kepentingan di bidang permukiman dan perkotaan, berperan sebagai pusat informasi bidang permukiman dan perkotaan, dan pusat studi urban renewal, urban desain dan pengembangan kota tematik.
Diskusi Penanganan Permukiman Kumuh untuk Mewujudkan lingkungan yang Layak Huni dan Berkelanjutan di Jakarta ini dihadiri oleh Dirjen Cipta Karya, Kepala Balitbang Kementerian PUPR, Sesditjen Cipta Karya, Direktur Keterpaduan Infrastruktur Permukiman, Direktur Bina Penataan Bangunan, Direktur Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, perwakilan dari Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan dan Permukiman, Kepala Balai Informasi Permukiman dan Perkotaan, serta para praktisi dan akademisi.